Rabu, 04 September 2013

“Orang Muda harus TUNDUK kepada Orang yang Lebih Tua!”

Mengerikan sekali judul coretan sederhana ini. Begitu baca judulnya saja sudah pasti membuat saudara muda langsung menutup halaman ini. Tapi tunggu dulu. Ini sekedar hipotesis saja. Isinya pasti akan membuat kita berpikir ulang tentang judul di atas. Berawal dari baca ayat Alkitab yang membuatku agak tercengang juga sebelum membaca akhir kalimat dari ayat dalam Alkitab. Ternyata kesan awal membuatku meneruskan sampai akhir kalimat dari ayat tersebut.
Tulisan ini bukan tafsiran yang baik untuk dibuat acuan. Apalagi dari segi ilmiah, tentu sangat mengecewakan. Memang bukan itu tujuannya. Tujuannya cuma sekedar opini ketika membaca ayat tersebut. Kenapa harus opini? Pastinya berawal dari pengalaman atas realita relasi orang tua dan anak muda. Orang tua yang suka mengeluh karena anak muda sekarang kurang hormat sama orang tua. Anak muda pun ngeluh karena selalu dianggap kurang hormat sama orang tua, padahal anak muda sudah melakukannya (tentu dengan cara mereka dong). Ga perlu terlalu jauh memperdebatkan tentang cara menghormati, tapi yang menjadi tujuanku adalah kesanku tentang sebuah “norma” yang menjamin semuanya itu berjalan dengan baik.

“Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati”

Yang unik kata “rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain” dalam translasi King James Version ditulis dengan satu kata yaitu humility berasal dari kata humble. Definisi kata itu  menurut Thesaurus online adalah to lower status or condition. Ternyata dalam sekali makna dari “rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain”. Kalau tidak merendahkan diri satu sama lain, tidak mungkin seruan awal dari ayat ini bisa dilakukan tentunya (seperti kebiasaan setiap dengar khotbah: “enak khotbahnya, jelas dan mudah ditangkap. Tapi sulit melakukannya” hehehe). Ternyata kata kunci untuk mengaplikasikan ayat ini dirangkum dengan satu kata yaitu Humility, yang kata dasarnya adalah Humble. Merendahkan diri, status dan kondisi. Itu syarat utamanya agar “tunduk” - yang dikatakan kepada orang muda - dapat dilakukan dan tentu relasi tua-muda dapat berjalan. Itulah normanya, rendahkanlah dirimu!

Mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Sebuah ayat yang meyakinkan kita juga kalau Tuhan sendiri pernah melakukannya. Ia Sang Maha yang tak terselami merendahkan diriNya supaya sama dengan kita, manusia. Itulah yang dilakukan Tuhan! Ia merendahkan diriNya sama dengan kita. Ia “berkenosis” (kenosis = mengosongkan diri) dalam rangka “berhumility” (merendahkan diri). Kehadiran Yesus adalah buktinya. Ia menjadi Tuhan yang nyata dalam fisik manusia. Artinya sebelum Tuhan perintahkan kita merendahkan diri satu sama lain, Ia sudah terlebih dahulu memberi contoh bagi manusia supaya bisa melakukannya. Tidak hanya hadir sebagai manusia, Ia juga bahkan memberi contoh agar manusia tahu caranya.

Nah sekarang balik lagi ke 1 Petrus 5:5. Kalau dibaca sekilas tentu sangat berat bagi orang-orang muda. Bahkan ada kesan, cukuplah bagi orang muda tunduk kepada yang tua, tak perlu sebaliknya! Namun ternyata tidaklah demikian. Ketika orang muda tunduk kepada orang tua, mereka sedang merendahkan diri kepada yang lebih tua – mereka sedang melakukan normanya -. Nah sebaliknya, semua orang (termasuk tua dan muda) harus merendahkan dari satu dengan yang lain – “Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain”. Perhatikan kata “semua”. Artinya yang muda tunduk dalam rangka merendahkan diri, sebaliknya yang tua menerima dan juga berbalas dengan kerendahan diri. Semuanya sedang merendahkan diri. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam kerendahan diri. Semua sama rendah dan sejajar.

Persoalanya maukah seorang merendahkan dirinya, menghapus ‘gensinya’, meniadakan “prestise” yang membelenggunya? Kalau masih sulit dan terasa berat, mari kita sama-sama lihat Fil. 2: 5-7 (isinya tentang Tuhan yang menyejajarkan dirinya dengan manusia ciptanNya). Nah sekarang kembali kepada kita masing-masing, mau mencontoh Tuhan agar hidup di dalam kasih persaudaraan bersama dengan Tuhan, atau tetap menggenggam “prestise” yang dipertahankan demi penghargaan? Humble itulah kuncinya menuju pintu relasi yang saling menaruh kasih satu dengan yang lain!



Kamis, 07 Februari 2013

Kepedulian! Yang mana????
Ketika berjalan menyusuri pematang sawah yang begitu licin, tiba-tiba saja kaki ini terbentur dengan tumpukkan tanah yang telah mengering. Tanpa aba-aba, tubuh ini pun jatuh ke kubangan lumpur yang tepat di pinggir pematang yang kami lalui. Badan rasanya sakit karena jatuh ditambah rasa malu karena bersimbah lumpur di sekujur tubuh. Lengkap sudah! Teman-teman yang berjalan bersama sedari awal spontan membantuku. Ada yang membantu menertawakan. Ada juga yang membantu menguatkan dengan khotbahnya yang kudengar bernada pidato “kepresidenan”. Ada juga yang acuh dan berlalu begitu saja. Tapi ada juga yang tanpa ragu langsung menyodorkan tangannya membantuku bangkit dari kubangan lumpur menjijikan itu. Ah, memang respon orang-orang bisa saja berlainan. Namun aku tahu motivasi semua temanku itu hendak menunjukkan kepeduliannya padaku. Syukurlah dari semua temanku itu, ada juga yang tanpa bicara langsung menolongku untuk bangkit. Semua bentuk kepedulian itu memang berguna. Teman yang tertawa tentu saja ingin agar aku tetap ceria meskipun dalam “duka”. Teman yang berkhotbah mencoba menguatkan dan memberiku motivasi untuk tetap berhati-hati melangkah. Teman yang acuh saja membuatkan sadar bahwa jalan masih panjang dan harus tetap ditempuh. Semua bentuk kepedulian itu memang berguna, namun kadang tidak tepat waktunya. Jelas saja, bayangkan kalau ketika aku jatuh tadi, semua temanku hanya tertawa, atau hanya berkhotbah saja, atau acuh pergi begitu saja meninggalkanku, tentu aku tak akan pernah “tertolong” untuk bangkit dari kubangan lumpur menjijikan itu. Syukurlah ada teman yang begitu cekatan mengulurkan tangannya untuk bangkit. Dari kejadian konyol ini aku coba melihat kepedulian diriku kepada teman-temanku. Sepertinya aku terlalu asyik berkhotbah memberikan penguatan, tertawa berharap ia mendapatkan sukacita, atau acuh karena ada “big target” yang menunggu di depan mata. Mungkin lain kali, kalau kami berjalan lagi di pematang dan ada temnaku yang jatuh tersandung, aku akan jadi orang pertama yang mengulurkan tanganku padanya. Ya! Pastilah itu akan kulakukan, karena aku tahu yang ia rasakan: “saat kita terjatuh, yang paling dibutuhkan bukanlah khotbah (nasihat), canda-tawa atau “big target” melainkan uluran tangan yang mengajakku untuk bangkit” *maybe this's not the true story. but i believe, it was happend in other way story of life. :)