Kamis, 07 Februari 2013

Kepedulian! Yang mana????
Ketika berjalan menyusuri pematang sawah yang begitu licin, tiba-tiba saja kaki ini terbentur dengan tumpukkan tanah yang telah mengering. Tanpa aba-aba, tubuh ini pun jatuh ke kubangan lumpur yang tepat di pinggir pematang yang kami lalui. Badan rasanya sakit karena jatuh ditambah rasa malu karena bersimbah lumpur di sekujur tubuh. Lengkap sudah! Teman-teman yang berjalan bersama sedari awal spontan membantuku. Ada yang membantu menertawakan. Ada juga yang membantu menguatkan dengan khotbahnya yang kudengar bernada pidato “kepresidenan”. Ada juga yang acuh dan berlalu begitu saja. Tapi ada juga yang tanpa ragu langsung menyodorkan tangannya membantuku bangkit dari kubangan lumpur menjijikan itu. Ah, memang respon orang-orang bisa saja berlainan. Namun aku tahu motivasi semua temanku itu hendak menunjukkan kepeduliannya padaku. Syukurlah dari semua temanku itu, ada juga yang tanpa bicara langsung menolongku untuk bangkit. Semua bentuk kepedulian itu memang berguna. Teman yang tertawa tentu saja ingin agar aku tetap ceria meskipun dalam “duka”. Teman yang berkhotbah mencoba menguatkan dan memberiku motivasi untuk tetap berhati-hati melangkah. Teman yang acuh saja membuatkan sadar bahwa jalan masih panjang dan harus tetap ditempuh. Semua bentuk kepedulian itu memang berguna, namun kadang tidak tepat waktunya. Jelas saja, bayangkan kalau ketika aku jatuh tadi, semua temanku hanya tertawa, atau hanya berkhotbah saja, atau acuh pergi begitu saja meninggalkanku, tentu aku tak akan pernah “tertolong” untuk bangkit dari kubangan lumpur menjijikan itu. Syukurlah ada teman yang begitu cekatan mengulurkan tangannya untuk bangkit. Dari kejadian konyol ini aku coba melihat kepedulian diriku kepada teman-temanku. Sepertinya aku terlalu asyik berkhotbah memberikan penguatan, tertawa berharap ia mendapatkan sukacita, atau acuh karena ada “big target” yang menunggu di depan mata. Mungkin lain kali, kalau kami berjalan lagi di pematang dan ada temnaku yang jatuh tersandung, aku akan jadi orang pertama yang mengulurkan tanganku padanya. Ya! Pastilah itu akan kulakukan, karena aku tahu yang ia rasakan: “saat kita terjatuh, yang paling dibutuhkan bukanlah khotbah (nasihat), canda-tawa atau “big target” melainkan uluran tangan yang mengajakku untuk bangkit” *maybe this's not the true story. but i believe, it was happend in other way story of life. :)